Pada awal berkembangnya Bank Syariah sekitar tahun 1970 –kebanyakan orang melihat secara miring praktek perbankan yang inkonvensional ini. Bahkan nasibnya mirip para teroris secara stigmatif saat itu. Maklum saja karena masyarakat kita plural dan sekuler. Dus, begitu lahir bank yang di ekornya ada kata ‘syariah’ lantas pada panik. Pelbagai komentar miring dan sikap apriori membentuk benteng stigma yang menandai tertolaknya konsep ekonomi tanpa riba ini.
Pada sementara orang, kepanikkan mereka terutama karena lebih melihat ‘Bank Syariah’ dari sisi ideologis. Pandangan itu tentu tidak lepas dari rasa traumatik negara kebangsaan kita yang pernah merasakan pertarungan ideologis –dengan adanya beberapa pemberontakkan kaum Muslim, seperti halnya pemberontakkan Darul Islam Indonesia. Selebihnya, selain juga adanya sentimen agama –tentu karena di saat itu kita memang tengah mabuk asmara dengan konsep ekonomi liberal yang diempui IMF dan Word Bank.
Tetapi saat ini, sikap sebagian banyak orang sudah mulai berubah. Paling tidak perubahan itu banyak dipengaruhi oleh kenyataan obyektif, yaitu kemampuan bertahan konsep ‘ekonomi syariah’ ketika menghadapi krisis ekonomi global 1998 dan 2008. Realitas obyektif itu membangun kesadaran –terutama dari perspektif ekonomi dan bisnis. Libido bisnis yang dulu banyak dipengaruhi oleh hasrat mendapatkan keuntungan semata dan sepihak –sekarang pun mulai lebih berupaya untuk menyentuh konsep keadilan ‘syariah’. Tetapi, untuk sebagian lain, ekonomi syariah atau Bank Syariah masih menjadi beban. Baik itu secara moral agama, ideologis dan konsepsinya.
Ekonomi Tanpa Riba
Tak kenal maka tak sayang. Demikian pepatah lama mengatakan. Resistensi atau sikap menegasikan konsep ekonomi syariah pada sementara orang wajar saja karena belum mengenal substansinya. Tetapi ketika semua telah terbuka dan orang mau melihat isinya, barangkali rasa sayang akan lahir dan mentransformasi kesadaran yang lebih utuh untuk mencintai dan mempertimbangkan.
Pada dasarnya, konsep ekonomi atau Bank Syariah lebih mendasarkan pada moral baik agama ataupun masyarakat. Moral di sini lebih bermakna pada sikap humanisme yang menimbang rasa adil dan melihat kebaikan sebagai konsep intersubyektif yang inheren. Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk solider sekaligus soliter. Anda boleh mencari keuntungan pribadi, tetapi keabsahan tersebut tidak lantas boleh mengabaikan kebutuhan yang sama atau rasa keadilan dari orang lain. Demikian itu kesimpulan moralnya.
Moral agama selanjutnya menegasikan konsep riba yang dirasakan tidak memiliki syarat sebagai rasa adil tersebut. Bahkan memiliki hasrat eksploitasi dan kapitalisme yang berlebihan. Dan agama sebagai otoritas transendental meletakkan wewenangnya pada porsi yang tepat. Melarang ummatnya untuk mempraktekkan riba. Dengan demikian riba menjadi haram hukumnya karena merusak kemanusiaan.
Secara umum praktek riba sebenarnya dilarang oleh semua agama samawi. Baik Islam, Nasrani dan Yahudi. Dalam Al-qur’an larangan riba diwakili pada ayat 275 surat Al-Baqarah dan ayat 130 dari surat Al-Imran, misalnya. Ayat tersebut menyebutkan: “Orang-orang yang makan {mengambil} riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran {tekanan} penyakit gila.”{275:Albaqarah} dan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”{130:Al-Imran}.
Di dalam kitab perjanjian lama kitab Exodus {Keluaran}pada pasal 22 ayat 25 disebutkan pula : “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga uang kepadanya.” Kemudian di Deuteronomy {Kitab Ulangan} pasal 23 ayat 19 diperintahkan sebagai berikut: “Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan…”
Perintah dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa semua agama pada dasarnya melarang praktek riba atau membungakan uang, karena bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan keadilan masyarakat sendiri. Dan pada dasarnya, konsep Bank Syariah berangkat dari semangat seperti itu. Konsep ekonomi syariah lebih menekankan pada praktek keadilan serta semangat humanisme –dan untuk itu haruslah bebas riba.
Bisnis Bermoral
Melalui konsep ekonomi tanpa riba tersebut, Bank Syariah kemudian menjalankan praktek ekonomi bisnisnya melalui elaborasi sistem yang mencerminkan sikap kejujuran, adil, amanah dan toleransi. Lantas Bank Syariah pun mengambil bentuk produk semisal tabungan investasi atau disebut simpanan mudharabah {simpanan bagi hasil atas usaha bank}, misalnya, dan lain sebagainya.
Dalam praktek investasi seperti itu, unsur keadilan lebih ditekankan. Karena pada dasarnya masing-masing pihak yang terlibat di dalam bisnis itu mendapatkan sesuai dengan proporsi masing-masing. Usaha untung, Anda mendapatkan keuntungan, usaha merugi semua ikut menanggung kerugian.
Di sisi lain, Bank Syariah menawarkan sebuah konsep yang memberikan rasa aman, rasa adil dan kesejahteraan bersama. Anda berhutang, misalnya, tak perlu lagi merasa cemas karena dibebani bunga yang subur layaknya benalu yang menghisap pohon utamanya. Dan karena dasar dari prinsip bisnis syariah adalah moral, maka praktek-praktek pengkhianatan atas nama keuntungan semata dapat pula dihindarkan sedemikian rupa.
Di samping itu, pada ghalibnya, konsep investasi sebagai penjabaran konsep ekonomi syariah –selain kemampuannya dalam berkompetisi dalam bisnis global, juga memiliki korelasi pada akses pengembangan usaha kecil menengah. Karena secara elan memiliki kesamaan dengan konsep ekonomi koperasi yang berjiwa kebersamaan dan dapat dilakukan pada setiap kelompok masyarakat
Bank Syariah, dengan demikian adalah sebuah konsep tata kelola perilaku berbisnis yang tidak saja memiliki legitimasi moral secara horizontal. Tetapi sekaligus mempunyai kekuatan legitimasi secara vertikal trasendental. Moral agama atau pun moral yang berlaku pada masyarakat secara universal memberikan jaminan bahwa Bank Syariah dibutuhkan oleh semua orang sebagai konsep yang dapat dipertimbangkan oleh siapa saja. Baik Muslim, Nasrani atau siapa pun Anda. Karena dengan berbasis moral seperti itu, maka bisnis Anda akan mampu berelaborasi, bertahan dan berkembang. Salam.
Opini: Ranang Aji SP
Bank Syariah dan Moral Agama