Bank syariah adalah sistem ekonomi eksklusif yang memberi efek terhadap resistensi identitas. Hanya bisa berlaku pada komunitas tertentu, namun kenyataannya dipaksakan menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional. Wacana ini memiliki beberapa nalar.
Pertama istilah syariah adalah produk dari komunitas agama tertentu saja, yaitu agama Islam. Kedua, bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam adalah strategi lain dari gerakan formalisasi Syariat Islam oleh sebagian kelompok Islam. Nalar yang memposisikan bank syariah sebagai produk dari eksklusivisme agama tertentu ini, bukan hanya dari kalangan di luar agama Islam.
Beberapa kalangan beragama Islam pun memiliki nalar penolakan ini, terutama kalangan yang mentasbihkan diri sebagai kelompok liberalis. Bagaimana baiknya merespon penolakan ini?
Common Bonnum
Kemampuan teknologi informasi tidak hanya selesai pada mempertukarkan berbagai bentuk informasi, namun sifat sosiologis manusia telah menjadikannya sebagai cara menemukan common bonnum. Common bonnum asali katanya adalah bahasa latin, common merujuk pada kebersamaan dan bonnum merujuk pada kesepakatan yang mampu memberi kebaikan. Pengertian dasarnya dari common bonnum pada gilirannya adalah kesepakatan mengenai kebaikan bagi seluruh pihak.
Pada masa ’global village’ dan gelombang demokrasi, dinamika sosial dipengaruhi oleh kesadaran sosial konstruktif, yaitu kemauan saling menerima entitas budaya di luar kelompoknya sebagai bagian dari dunia hidup sehari-hari.
Entitas tersebut direpresentasikan secara simbolis seperti pakaian (fashion), arsitektur, sampai cara kerja. Sebagian orang Indonesia mungkin suka menggunakan jas dalam acara-acara pesta, mempunyai rumah bergaya Eropa, dan mengkonsumsi pizza setiap minggu.
Begitu juga, sebagian pemuda di Jepang mereka suka mengenakan baju batik, rumah bergaya Joglo, dan suka nasi goreng a la Indonesia. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat dunia melihat kesadaran konstruktif dalam mempertukarkan kebudayaan yang baik adalah modal dalam global village.
Kesadaran konstruktif terhadap budaya lain inilah yang tidak ditangkap oleh kalangan yang menolak bank syariah sebagai bagian dari ekonomi nasional. Mengapa? Kelompok ini tidak mengambil alih substansi demokrasi dan nilai liberal sebagai cara mempertukarkan hal-hal yang baik dari setiap kebudayaan dan menggunakannya sebagai common bonnum. Namun yang terjadi adalah keterbalikannya, bahwa kebudayaan dan identitas lain, seperti bank syariah sebagai produk kebudayaan Islam, direspon sebagai ancaman.
Respon pun pada gilirannya lebih terfokus pada mereproduksi isu identitas dan kekuasaan. Seperti wacana di atas bahwa bank syariah adalah bagian dari gerakan kelompok Islam tertentu. Padahal pertukaran simbol pun dalam konteks masyarakat inklusif saat ini terjadi sangat lentur dan manis. Kesadaran konstruktif akan cenderung melihat bahwa perbankan syariah adalah bentuk dari common bonnum.
Metodologi Perdamaian
Perbankan syariah merupakan salah satu sistem teknis dari metodologi perdamaian. Konsep perdamaian merujuk pada Galtung (2004) salah satu pondasinya adalah kondisi struktural yang adil dengan ditandai penyediaan berbagai kesempatan bagi masyarakat untuk bisa hidup sejahtera.
Sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan dasar manusia seperti sandang pangan dan papan, serta pendidikan, dan kesehatan. Pada cita-cita perdamaian inilah sebenarnya konsep perbankan syariah merupakan salah satu metodologi perdamaian yang akuntabel. Karena mampu mempertanggungjawabkan konsep dan implementasinya pada kepentingan perdamaian.
Selain konsep perbankan syariah dan sumberdaya manusia, kendala perbankan syariah sebagai metodologi perdamaian adalah nalar penolakan berbasis pada eksklusivisme identitas di atas. Penolakan dari nalar ini sebenarnya, berdasar pada ulasan ini, tidak menciptakan common bonnum dan perdamaian universal. Selama ini pertukaran pengetahuan dan identitas antar kelompok telah menciptakan sistem kehidupan manusia, termasuk demokrasi itu sendiri.
Demokrasi secara etimologi dan sejarahnya boleh dari Yunani klasik dan masyarakat Barat modern, namun substansi dan penyempurnaannya dalam ’global village’ adalah hasil pertukaran dari berbagai kebudayaan dunia, termasuk Islam.
Judul di atas menjadi tidak relevan lagi. Nalar yang menyatakan bank syariah adalah bentuk eksklusivisme sepertinya tidak menyadari bahwa masyarakat global harus keluar dari berbagai bentuk identitas dan simbolisme sempit.
Pada masa global dan keterbukaan ini, selama satu bentuk kebudayaan bisa menawarkan metodologi perdamaian maka perlu diterima. Walaupun tentu saja, ini bukan paksaan! Karena mereka yang menolak, memiliki kebebasan 100% untuk menggunakan bank bukan syariah (bank konvensional).
Opini Ulyati Retno Sari, M.Hum
Bank Syariah, Sistem Paling Manusiawi