Belakangan ini, istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih sering didengungkan, tidak lagi semata Republik Indonesia. Memang tidak mengada-ada jika persoalan kesatuan bangsa masih rentan. Ada ketidakadilan kue pembangunan yang sangat dirasakan terutama oleh masyarakat Indonesia bagian timur. Salah satunya etnis Papua, dan salah satu di antara etnis Papua adalah suku Asmat.
Setelah menjadi Kabupaten Asmat pada tahun 2003, persoalan yang dihadapi suku yang namanya sama dengan nama kabupaten ini masih mendasar. Baik ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun kebudayaan. Ditetapkannya Papua sebagai daerah otonomi khusus pada tahun 2001 memang membuat kucuran dana dari pusat ke daerah ini cukup besar tapi basis ekonomi mereka masih subsisten.
Alam dan Budaya Asmat
Alam dan budaya Asmat sebenarnya masih sangat kaya. Ikan masih mudah ditangkap. Oleh orang Asmat, kata Asep, ikan-ikan itu dijual lalu dibelikan sarden kalengan. Alasannya, rasa ikan sarden kalengan lebih enak. Ikan-ikan yang ditangkap memang biasanya hanya dibakar dan dibumbui seadanya. Selain sarden, hasil bumi sagu sering mereka tukar dengan mi instan.
Asep dan kawan-kawannya mendampingi mereka untuk mengoptimalkan hasil bumi yang bisa digarap. Termasuk kembali mengkonsumsi sagu sebagai makanan utama yang tergeser oleh politik beras sejak zaman Orde Baru.
Pohon sagu membesar selama 15 tahun. Waktu yang sangat lama tapi di wilayah Asmat masih sangat banyak pohon sagu di hutan yang luas. Batang pohon yang berdiameter besar, dan tentunya menjadi sumber pangan yang kaya. Tidak hanya sagunya yang bisa dimakan tapi juga ulat-ulat di pohon ini. Ulat sagu meski bentuknya agak “menjijikkan” tapi enak dan bergizi.
Potensi Asmat lainnya adalah keahliannya membuat patung yang terkenal di dunia. Sayangnya, kata Asep, pembuat patung Asmat harus turun-temurun, padahal tidak setiap keturunan mau menekuni pembuatan patung. Jadi jumlah pematung semakin berkurang. Persoalannya juga tidak sekadar jumlah tapi mutu.
Di tengah derasnya permintaan pasar, patung Asmat cenderung menjadi kerajinan. Hanya mengikuti pola dan model yang diinginkan pemesan. Padahal dulu, kata Asep, pematung menciptakan karyanya berdasarkan mimpi. Jadi sangat pribadi, otentik dan unik.
Persoalan lain yang dihadapi Asmat adalah persoalan gender. Kaum perempuan yang lebih banyak bekerja. Kaum pria, kata Asep, biasanya di rumah atau berburu. Ditambah lagi soal masih sedikitnya anak-anak Asmat yang mengenyam pendidikan formal. Fasilitas kesehatan masih di bawah standar.
Tajuk ‘Mengeja Asmat’ ini banyak memancarkan keoptimisan. Wajah-wajah yang ceria, senyum yang mengembang, alam yang ramah, dan semacamnya. Berenang di kali yang jernih, lomba berperahu, menangkap ikan, membuat perahu panjang yang menyiratkan keakraban mereka dengan sungai. Begitu juga arsitektur dan interior gereja dan masjid yang menampakkan sentuhan lokal.
Artinya, sebenarnya Asmat menyimpan banyak potensi untuk maju dan berkembang dengan mempertimbangkan unsur-unsur budaya dan alam yang mereka punya. Asmat, Papua, Indonesia bagian timur adalah pekerjaan rumah yang masih sangat jauh dari selesai.
Budaya Asmat, Kekayaan yang Masih Terpinggirkan