Hari Earth Hour, yang yang diselenggarakan setiap tahun pada hari Sabtu terakhir di bulan Maret, penting dirayakan untuk mengingatkan kembali ihwal tatanan ekologis yang makin merisaukan. Earth Hour dalam bahasa Indonesia artinya Jam Bumi.
Earth Hour mengajak masyarakat bumi mematikan lampu ataupun peralatan listrik lainnya selama satu jam. Di Indonesia, terutama di Jakarta sudah kali ketiga dilakukan. Begitu juga di kota-kota lainnya di dunia yang dimulai dari pukul 20:30-21:30 waktu setempat.
Setidaknya perayaan itu menjadi petunjuk kepedulian masyarakat dalam mengatasi perubahan iklim, lewat penghematan energi dan penggunaan listrik. Ini terkait dengan kondisi lingkungan hidup yang menginjak masa krisis. Betapa tidak. Suhu bumi yang telah mencapai lebih dari 3 derajat celsius merupakan bukti pemanasan global.
Boleh jadi penyebabnya adalah emisi gas buang yang dihasilkan dari setiap jengkal aktivitas manusia yang menuntut pertumbuhan ekonomi, belum lagi penggundulan hutan di bumi ini semakin marak. Ketergantungan manusia pada minyak bumi ataupun energi fosil, ternyata juga membawa dampak buruk emisi karbon.
Pada akhirnya, mulai dari bencana banjir, longsor, cuaca yang tidak menentu mesti ditanggung. Apalagi belum lama, Brazil diserang gelombang panas yang menelan korban penduduk yang tidak sedikit. Bukan cuma itu, Washington DC, AS, juga mengalami badai salju terparah selama kurun waktu 100 tahun terakhir. Kenyataan itu, tidak lain adalah bencana besar yang disebabkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global.
Beragam upaya telah ditempuh terkait mengurangi pemanasan global, salah satunya, lewat REED-plus (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation). Namun, mekanisme itu lebih mirip jual-beli karbon. Tentunya, negara-negara berkembang yang menjadi tukang cuci karbon yang datang dari negara industri maju. Seperti diingatkan, Vandana Shiva, “resources move from the poor to the rich, and pollution from the rich to the poor”.
Ketimpangan relasi kuasa antara negara maju dan berkembang tidak jarang kita temukan. Relasi kekuasaan yang timpang hanya melahirkan dominasi terhadap negara yang lemah.
Selain itu, kelihatannya memang masa depan ekologis kita dipertaruhkan dibawah logika ekonomi, yang dianggap lebih menekankan kalkulasi untung-rugi. Barangkali banyak orang menyalahkan ekonomi kapitalisme. Apakah benar begitu?. Sebetulnya yang terpenting saat ini adalah mencairkan ketegangan antara nasib ekologis dan tuntutan ekonomi industri.
Sistem apapun cenderung bersifat netral. Termasuk sistem ekonomi kapitalisme. Segalanya berpulang kepada subjek manusia. Ambil contoh, Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dibuat pemerintah Indonesia pun dipastikan macet. Tatkala kita menjumpai manusia yang kehilangan etika kepedulian.
Agaknya, alam pikir kita terjebak pada tradisi Cartesian, yang membelah adanya subjek dan objek, dualisme. Manusia menjadi subjek dan pusat pertimbangan. Sehingga lingkungan hidup maupun tatanan ekologis diletakkan sebagai objek.
Maka, tidak mengherankan bila subjek cenderung mengeksklusi yang liyan. Subjek selalu mengobjektivikasi apa yang berada diluar dirinya. Barangkali manusia lupa, eksistensinya sebagai subjek tidak pernah lepas dari relasi dengan eksistensi yang lain, being-with-others. Sebut saja, manusia dipastikan bergantung pada alam demi melangsungkan hidupnya.
Setiap orang berharap agar kelangsungan dan kelestarian hidup di bumi bisa panjang umur. Namun, rasanya pesimis bila tindak tanduk manusia masih menunjukkan kedangkalan moral. Barangkali persoalannya, ada pada cara pandang. Fritjof Capra (The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living, diterjemahkan Andya Primanda) menganjurkan cara pandang ekologis.
Pertama, Capra mengajak kita untuk membangun proyek yang berorientasi ekologis, dengan tujuan, merawat jaring-jaring kehidupan. Dengan demikian, jalan menuju keberlanjutan akan menemukan arah terang.
Kemampuan produktif dan inovasi sebuah industri adalah modal untuk membentuk apa yang Capra sebut sebagai ekodesain. Prinsip ekodesain yang paling mendasar berangkat dari kalimat sederhana “sampah sama dengan makanan”. Ini dimaksudkan untuk “menjembatani celah antara desain manusia dan sistem-sistem alam yang berkelanjutan secara ekologis”.
Apapun yang dikelola industri termasuk sampah sebagai bagian proses produksi dimungkinkan mampu menjadi sesuatu yang lain. Sampah yang dipandang tidak memiliki manfaat justru berpeluang menjadi sumber daya tersendiri bahkan membawa keuntungan.
Selanjutnya, ditengah kecaman Capra terhadap kapitalisme. Tampaknya ia masih menaruh harapan pada kapitalisme. Ia memberi sebutan yang sedikit lain: kapitalisme berkelanjutan. Sepertinya Capra menyadari dengan sangat koheren kondisi dunia dewasa ini, bahwa belum ada tangkisan mengenai kenyataan kebangkitan kapitalisme global. Sambil ia mencari alternatif lain, yaitu pengandaian akan “penciptaan masyarakat berkelanjutan berdasarkan pemahaman ekologis dan praktik ekodesain”.
Persoalan diatas, sebetulnya berpangkal pada etika, yang pada akhirnya menunjukkan sejauh mana jangkauan keutamaan moral kita. Krisis ekologis yang saat ini terjadi sama dengan krisis moral. Seperti diungkapkan Albert Schweitzer, yang juga dikutip oleh budayawan Sides Sudyarti DS (2011), pada dasarnya etika adalah kesadaran mengenai, “I am life which wills to live, in the midst of life which wills to live”. Apabila batas-batas itu dilanggar akan mengancam masa depan ekologis kita.
Opini : Galih Prasetyo
Earth Hour dan Nasib Ekologis Kita