Seorang Muslimah kelahiran Amerika Serikat sekarang sedang berjuang untuk memperoleh SIM di negara bagian Florida. Masalahnya, para pejabat bersikeras, wanita Muslim ini harus diambil gambarnya tanpa cadar yang menutupi wajahnya. Kasus ini sekarang diserahkan kepada sebuah pengadilan Florida, dimana jaksa bersikeras bahwa, untuk tujuan pelaksanaan hukum, SIM harus disertai foto yang menunjukkan wajah pemilik SIM itu.
Kasus Foto SIM Muslimah Berjilbab di Florida
Kisah ini terjadi tahun 2002 lalu. Awalnya, Sultaana Freeman memperoleh SIM Florida meskipun ia tidak mau membuka cadar yang menutupi wajahnya untuk foto yang ditempelkan dalam surat izin mengemudi atau SIM-nya itu. Sultaana adalah seorang Muslimah, yang berpegang teguh pada yang dipercayainya sebagai aturan agamanya, Islam, yang harus ditaati. Pada saat itu tidak seorang pun di Departemen Urusan Kendaraan Bermotor Florida keberatan, dan Sultaana mengendarai mobilnya selama beberapa bulan ini dengan baik.
Semuanya itu berubah setelah serangan teroris 11 September. Kantor Kendaraan Bermotor Florida memberitahu Sultaana ia harus menyerahkan foto baru, kali ini tanpa cadar yang menutupi wajahnya. Ketika ia menolak, SIMnya pun dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sekarang Sultaana membawa masalah itu ke pengadilan untuk memaksa negara bagian Florida memberikan kembali SIMnya, dan mempersoalkan hak negara bagian untuk memaksa dirinya membuka wajahnya, hal yang merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan agamanya.
Pengacara Sultaana, Howard Marks mengatakan, Negara bagian Florida tidak mempunyai hak untuk mengharuskan klien saya melakukan pelanggaran terhadap kepercayaan agamanya yang fundamental, hanya untuk mendapatkan SIM. Masalahnya sesederhana itu.
Para pengacara untuk negara bagian Florida mengemukakan argumentasi bahwa memiliki SIM adalah suatu keistimewaan, bukan hak, dan bahwa tidak seorang pun memaksa Sultaana untuk melakukan apa pun. Mereka mengatakan aturan mengenai foto yang harus menampakkan wajah seseorang berlaku bagi semua orang, dan tak seorang pun diperlakukan lain, dan kalau ia ingin memperoleh SIM, maka ia harus menaati aturan itu.
Pengacara Sultaana, Marks menolak argumentasi negara bagian itu dan menyatakannya tidak relevan. Ia mengatakan, Apakah Anda akan menyebutnya sebagai privelege atau keistimewaan, atau Anda menyebutnya sebagai hak, negara bagian tidak mempunyai wewenang baik menurut konstitusi maupun lainnya untuk membebani seseorang yang menyangkut kepercayaan agamanya yang fundamental kecuali ada kepentingan negara bagian yang mengharuskannya melakukan hal itu.
Pejabat-pejabat negara bagian Florida bersikeras mereka mempunyai kepentingan untuk memastikan semua pengendara mobil dapat diidentifikasi dengan mudah dengan melihat fotonya yang tertera di SIM, terutama setelah peristiwa 11 September.
Asisten Jaksa Tinggi Negara Bagian Florida, Jason Veil mengatakan, Ini hanya untuk keperluan identifikasi. SIM digunakan untuk mengidentifikasi pemegangnya oleh para petugas pelaksana hukum. Juga, foto dalam SIM disimpan dalam data bank kami dan dapat digunakan oleh semua badan penegak hukum di Amerika. Foto-foto dalam SIM sudah biasa digunakan oleh badan-badan penegak hukum untuk mengidentifikasi orang-orang yang dicurigai melakukan tindak pidana atau juga korban tindak pidana.
Veil mengatakan negara bagian peka terhadap kepercayaan agama seseorang, tetapi harus mempertimbangkannya dengan kepentingan lain supaya dapat melayani dan melindungi masyarakat umum. Dalam kasus ini, ia mengatakan, aturan yang ada harus dilaksanakan.
Dikatakan, Persyaratan itu tidak dimaksud untuk mengganggu kepercayaan agama seseorang. Ini aturan umum yang berlaku bagi siapa saja yang ingin memperoleh SIM.
Kedua belah pihak mengusulkan kemungkinan cara yang bisa diambil untuk memecahkan masalah ini. Howard Marks mengatakan kliennya akan bersedia diambil cap jarinya sebagai ganti foto. Tetapi pejabat-pejabat Florida mengatakan tidaklah praktis mengharapkan seorang penegak hukum harus mengecek dokumentasi cap jari kalau, misalnya, Sultaana dihentikan di tengah jalan karena melanggar aturan lalu-lintas.
Pihak negara bagian mengusulkan untuk mengatur pengambilan foto Sultaana sendirian dengan hanya seorang wanita pegawai Departemen Kendaraan Bermotor hadir. Sultaana tetap berpendirian foto seperti itu, tidak peduli bagaimana cara mengambilnya, tetap merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan agamanya.
Para pakar hukum mengatakan kasus-kasus pengadilan sebelumnya yang serupa dengan kasus Sultaana ini pernah ada dan dapat menjadi dasar tuntutan Muslimah itu. Di satu pihak, pada tahun 1983, seorang wanita di negara bagian Nebraska memenangkan hak untuk memperoleh SIM tanpa harus menyertakan foto.
Di pihak lain, pada tahun 1990, Mahkamah Agung Amerika membuat keputusan bahwa negara bagian Oregon boleh menolak menerima sebagai pegawai warga suku Indian yang menggunakan obat peyote untuk upacara keagamaan, karena syarat penerimaan pegawai yang mengharuskan pegawai tidak pernah tersangkut penggunaan obat terlarang berlaku secara merata.
Para pakar hukum mengatakan, sejak 11 September, pengadilan di Amerika pada umumnya memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah untuk membuat dan melaksanakan aturan yang menyangkut keamanan dalam negri.
Kenyataan ini tidak diabaikan oleh pengacara Sultaana, Howard Marks. Ia mengatakan, Kalau 11 September tidak terjadi, SIM klien saya itu tidak akan pernah dicabut. Klien saya itu menjadi Muslimah beberapa tahun yang lalu, tetapi ia diasuh dan besar di negara bagian Illinois. Ia mempunyai SIM Illinois dengan fotonya yang mengenakan cadar dan tidak pernah menimbulkan masalah; ia bekerja untuk negara bagian dengan mengenakan cadar dan tidak pernah ada masalah.
Bulan lalu, seorang hakim di Florida tengah menolak mosi negara bagian Florida untuk menyatakan tuntutan Sultaana Freeman itu batal demi hukum. Ini berarti pengadilan menyilakan perkara itu dilanjutkan.
sumber: Michael Bowman/VOA
Kasus Foto SIM Muslimah Berjilbab di Florida