Beberapa waktu lalu – saya mencoba menawarkan karya lukisan teman-teman pada kenalan saya orang Swiss yang konon seorang Profesor Seni Rupa. Foto-foto lukisan itu saya kirimkan setelah teman-teman selesai melakukan tour ekshibisi di dua kota Jakarta dan Bali.
Tetapi, saya agak terkejut dengan tanggapan kenalan saya orang Swiss tersebut. Ada dua hal yang menjadi pokok pikirnya. Pertama, dia merasa diremehkan ketika merasa diposisikan sebagai seorang promotor karya seni. Kedua, ia merasa bahwa bisnis seni adalah sebuah jalan pendosa dan harus dihindari.
Bagi saya, penolakannya untuk tidak membeli atau membantu mencarikan ruang bagi karya teman-teman adalah biasa. Tak ada nilai apapun. Tapi, ketika saya mencoba memahami keimanannya pada haramnya menjajakan barang seni, nah, baru ini terasa sebagai sebuah kekonyolan selayaknya kaum terorisme mengimani jalan mereka. Bagi saya ini adalah keimanan yang ekstrim dan fundamentalis.
Korelasi Seni dan Bisnis
Keimanan semacam itu barangkali mewakili kredo Theodor W Ardono yang kemudian memilah karya seni menjadi seni tinggi dan karya seni rendah. Karya seni tinggi dipresentasikan melalui karya seni murni sementara karya seni terapan -desain (misalnya) mewakili kelompok seni rendah.
Secara difinitif (versi saya) karya seni murni adalah seni yang proses kreasinya tidak dipengaruhi oleh factor luar. Atau karya itu tidak dibuat untuk terlibat dalam sebuah desain ekonomi yang industrian dan mengemban tugas mitologis.
Sementara seni kategori rendah adalah karya yang proses kreatifnya memiliki relasi kuat dengan hasrat fordisme. Karya itu diproduk secara massal dan dinikmati secara massal pula.
Pada gambaran semacam ini –sekilas tentu saya ditempatkan pada posisi kedua dari kualifikasi kredo itu. Saya, dalam mata saleh kenalan saya dan Ardono -untuk itu adalah pendosa. Karena menempatkan karya seni (rupa) sebagai (maaf) pelacur yang nilainya rendah bagi para pesaleh.
Namun –saya tidak bermaksud untuk menilai salah keimanan semacam itu. Hanya saja, bagaimana mungkin sebuah karya seni di jaman yang masyarakatnya sudah tidak lagi menyembah batu, pohon, dewa-dewa atau hal-hal lain yang bersifat aninisme dan dinanisme –masih menempatkan posisi karya seni itu sebagai halnya posisi karya seni ribuan tahun lalu. Sebagai media ritual.
Tetapi, tentu saja saya menolak persepsi bahwa saya mewakili kelompok dalam difinisi kedua di atas. Posisi saya dalam konteks bisnis tidak bisa mewakili ideology fordisme atau bahkan posfordisme. Sebaliknya saya juga bukan pada posisi yang yang mengimani definisi petama yang punya nilai spiritual dan mitologis.
Karya seni bagi saya memiliki nilai kontekstual –melihat kebutuhan real manusia pada era muktahir. Karya seni saat ini tak bisa lepas dari kebudayaan sebagai narasi besar kehidupan. Nilai spiritualitasnya adalah estetika dan kreatifitas bukan lagi transedental dan ritual. Bagi saya ada pergeseran makna mitologisnya.
Dalam kerangka posmoderisme –keimanan kenalan saya itu barangkali sebuah realitas yang bisa diterima. Tafsir-tafsir liar bisa pula dilegasikan. Tapi saya berdiri diantara konsep-konsep sosiologis tersebut. Saya melihat kebutuhan manusia ‘kini ‘ (termasuk senimannya) sudah jauh berbeda dengan perjalanan manusia ‘dulu’.
Bahkan pada era kontemporer saat ini –dimana nilai-nilai kontemporer merupakan jalinan transformative bagi posmodernisme yang mencoba memperlemah arus modernism –terutama pada konsep-konsep budaya dan ekonominya, tetap saja senimannya yang masih bagian dari kemanusiaan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau untuk produksi. Itulah realitasnya.
Ambivalen
Saya bahkan mencurigai –ada laku pemaknaan seni yang hipokrit dan artificial. Ambivalensi sikap sangat terbaca ketika seorang seniman atau kritikus seni memformulasikan diri atau bersikap seolah sebagai difinitif dalam gambaran Ardono yang pertama -tetapi di sisi lain memberi harga pada sebuah karya seni rupa (misalnya) dengan sejumlah angka yang fantastis.
Posisi-posisi yang absurd dan artifisial semacam itu bagi saya terlalu bermain-main. Seni tetap saja seni –yang memiliki harkat martabatnya sendiri. Seperti halnya karya yang baik tetap saja baik dan bernilai. Sekaligus menempatkan senimannya sebagai manusia unggul.
Dan bisnis hanyalah alat peyeimbang bagi kebutuhan seniman dalam posisi kebudayaannya yang real di masa kini. Hingga suatu hari nanti –barangkali, ditemukan senyuman sebagai alat beli menggantikan uang. Jadi, semua orang tak lagi sinis terhadap makna berbisnis.Salam.
Opini: Ranang Aji SP –
Korelasi Seni dan Bisnis