Kampung Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939. Lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan suami isteri Suaeb dan Siti Aisyah. Bungsu dari delapan bersaudara itu tak disangka kelak menjadi salah satu tokoh di bidangnya (pekerja seni). Bahkan acap mendapatkan berbagai sebutan, antara lain sebagai satu-satunya seniman serba bisa (asal Betawi) yang belum tergantikan, baik oleh juniornya dari lingkungan Betawi sendiri, maupun di level nasional.
Benjamin Suaeb Seniman Sejak Kecil
Bang Ben, begitu ia akrab disapa dulunya, sejak kecilnya sudah “tampil beda”. Walaupun dalam beberapa hal dia juga tampil apa adanya. Kadang usil, kadang nekad khas anak kecil yang sedang dalam masa pertumbuhan/perkembangan.
Moenadji, salah satu saudara kandung Bang Ben menuturkan, ia dan saudara-saudaranya yang lain menyadari bahwa kepintaran berbicara Benjamin sudah terlihat sejak balita.
“Kalau nggak salah sekitar tahun 1939-1941, waktu dia umur tiga tahun, tetangga-tetangga demen juga sama dia. Kalau emak ketamuan dia suka nyanyi. Bakatnya udah ketahuan dari balita. Kita juga suka kagum. Disuruh nyanyi ngga malu-malu. Nyanyinya bukan khas Betawi tapi khas Sunda. Dia suka nyanyi lagu “ujang-ujang nur” sambil goyang-goyang. Tuh Ibu (tetangga yang mengundang Benjamin nyanyi) ampe lari ke dalem saking lucunya. Biasanya dikasi upah kue bolu sama duit 5 sen. Biasalah orang kaya. Kalo kita mah anak yatim, udah ditinggal Bapak waktu Benjamin masih usia 2 tahun,” kisah Moenadji, satu-satunya kakak Bang Ben yang masih ada, sembari tertawa haru mengenang ulah adiknya.
Dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu kala itu, dengan jujur Bang Kaji (sapaan akrab Moenadji) bermaksud mengkomersilkan bakat adiknya. Setidaknya demikian kata batinnya saat itu juga.
“Dia bisa nyanyi, upahnya bakar ongkos sekolah kakaknya. Ada satu lagi orang Arab. Benjamin suka maen di sono seharian. Dia demen maen kucing ampe jatuh makanya cadel. Dia bisa nyanyi niru tukang moceng yang nyewa rumah. Ada juga tukang jahit tempat emak bekuli (jadi kuli) di situ juga disuruh nyanyi,” imbuh Bang Kaji perihal “lokasi” Benjamin kecil menunjukkan talentanya.
Bukan itu saja, darah seni juga mengalir dari engkong Saiti, seorang peniup klarinet yang sering dipanggil jika ada pesta raja. Dari Haji Ung (aslinya bernama Rofiun) didapatnya pula darah seni itu. Sebab, menurut Bang Kaji, Haji Ung acap bermain dalam Duimuluk, seni teater rakyat yang serupa dengan pertunjukan lenong.
Nama Haji Ung boleh jadi sudah tidak asing di telinga warga Jakarta, kendati mungkin ada pula yang sama sekali tidak mengenalnya. Namanya sudah kondang di seputar tahun 1800an sebagai pembuat jembatan bambu yang menghubungkan kawasan Kemayoran dengan Bendungan Jago. Ayah dari Ibu Aisyah itu kini lebih dikenal masyarakat yang kerap menuju atau melintas daerah seputar Bendungan Jago dengan sebutan Jiung (kependekan dari Haji Ung).
Tokoh masyarakat Betawi itu tak hanya menurunkan bakat seni pada cucu-cucunya. Ia juga mengajarkan pengetahuan agama yang kelak juga mempengaruhi perjalanan hidup seorang Benjamin Suaeb. Menjadi penyeimbang bagi profesinya yang acap diidentikkan dengan kepentingan duniawi.
Meskipun demikian dalam proses belajar mengajar mengaji itu, keusilan Benjamin kecil lagi-lagi terlihat. Misalnya ketika orang dewasa sedang sholat dalam posisi sujud, ia meletakkan bantal di bawah pantat orang tersebut. Terang saja orang tersebut tidak dapat duduk dengan semestinya. Dan apa yang dilakukan Benjamin kecil, tidak lain tertawa terbahak-bahak.
Keusilan lainnya adalah seperti dikisahkan Bang Kaji, saat berusia 5 tahunan, Benjamin kecil suka ikut kakak-kakaknya hujan-hujanan sampai nyebur ke sungai (maksudnya ikut latihan berenang) tapi justru bikin cemas karena sempat hanyut terbawa arus air.
Belajar jujur, belajar musik
Pada usia 6 tahun, Ibu Aisyah mengangkat seorang anak belasan tahun asal Makassar, Sulawesi Selatan. Madali, namanya. Anak perantauan itu nyasar ke Jakarta. Setelah disunat, ia dipersilahkan tinggal di keluarga Ibu Aisyah beserta kedelapan putra/putri kandungnya: Rohani (anak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohayah (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), Saidi (ketujuh), dan Benjamin (kedelapan).
“Dia sayang banget ama Benjamin. Abis sunat dapet kerja, jadi jongos serdadu Inggris. Makan kenyang dah di tangsi Inggris, tahun 1945-1946 kira-kira. Yang ngasuh Benjamin dia juga. Misalnya dia ajak kerja di Pasar Baru, rumah sakit tentara. Ama Madali disuruh kasi ke emak, tapi dijual ama Benjamin. Nyang bujuk abang-abangnya. Eh, disetrap deh tuh ame Dali, diikat tangannya-kakinya. Dia kasih tau jangan bohong jadi orang, Benjamin manggut. Siangnya dibuka. Emang dia (Madali) bagus ngajarnya, strength,” puji Bang Kaji pada sikap saudara angkatnya sambil terkekeh.
Dari rumah sakit itu pula anak-anak belasan tahun ini mendapat sejumlah barang bekas untuk dibikin alat musik, tepatnya orkes kaleng. Idenya berasal dari Bang Kaji. Kala itu Belanda sering memeriksa rumah-rumah warga Jakarta. Ternyata kebolehan Benjamin dan saudara-saudaranya bermain orkes bikin pasukan tentara Belanda menikmati lagu, dan bukannya memeriksa isi rumah mereka.
“Rebabnya dari kotak obat. Stern basnya dari kaleng drum minyak dari besi. Keroncongnya dari kaleng biskuit. Waktu itu belon pake gendang. Benjamin suka dipanggil ama Belanda. Pas waktu serdadu Belanda dateng, mainin lagui-lagu Belanda. Kita ngga inget lagu-lagunya, tapi kita inget kita bawain lagu-lagu belanda. Yang suka nyetel alat musik ya Benjamin,” tutur Moenadji, bangga.
Maklum, jaman itu belum banyak orang main orkes dan usia adiknya pun baru 6 tahun tapi sudah mahir nyetelin alat musik. Tak ada yang menyangka pula bahwa orkes rombeng itu menjadi cikal bakal bagi perjalanan karir bermusik Benjamin. Selanjutnya: Mengenang Masa Remaja Benjamin Suaeb
Haji Benjamin Suaeb telah menghadap Sang Pencipta. Bukan saja masyarakat Betawi, banyak orang di luar komunitas ini merasa kehilangan atas kepergiannya yang sangat mendadak tersebut. Tokoh ini sepertinya bukan milik Betawi tapi sudah bisa diterima oleh semua golongan.
Mengenang Masa Kecil Benjamin Suaeb