Perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau yang biasa dikenal dengan istilah urbanisasi, seolah-olah menjadi salah satu kambing hitam semakin padat dan kumuhnya permukiman di perkotaan. Benarkah urbanisasi yang menjadi faktor utama penyebab permukiman kumuh di perkotaan? Apa sebenarnya yang menjadi kelebihan kota maupun kekurangan desa sehingga perpindahan penduduk desa ke kota kian meningkat? Lalu, dampak apa saja yang timbul dari peningkatan urbanisasi tersebut?
Urbanisasi Yang Tak Pernah Berhenti
Pembangunan perkotaan kian lama kian bertambah maju. Kemajuan tersebut dapat dilihat secara kasat mata melalui semakin banyaknya gedung-gedung bertingkat dan pencakar langit, serta suburnya pusat-pusat perbelanjaan dan perkantoran.
Bagi sebagian besar penduduk desa, kemajuan pembangunan di perkotaan memberikan kesempatan lebih untuk meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Oleh karena itulah, apabila ditanya alasan penduduk desa yang mencari pekerjaan di kota, maka sebagian besar akan menjawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka yang tinggal di desa. Sementara anggota keluarga mereka yang termasuk kategori angkatan kerja bekerja di kota, anak-anak dan orang tua dapat tetap tinggal di desa.
Tak jarang, demi memastikan keragaman sumber penghasilan, anggota keluarga seringkali bekerja terpencar di berbagai tempat, di kota-kota kecil maupun di kota- kota besar. Hal ini dimaksudkan agar keamanan finansial mereka tidak rentan terhadap pengaruh kondisi ekonomi di satu tempat.
Penyebab Urbanisasi
Di samping kemajuan pembangunan di perkotaan yang menjadi faktor meningkatnya urbanisasi, kondisi perdesaan yang dianggap tidak mampu menyediakan kesempatan kerja bagi penduduknya serta minimnya penghasilan yang layak dari kegiatan pertanian juga menjadi faktor penyebab utama terjadinya urbanisasi.
Mengapa penduduk desa banyak yang pindah ke kota? Hal ini disebabkan oleh banyak faktor.
Pertama, kebanyakan penduduk desa bekerja di sektor pertanian. Sektor ini sangat tergantung dengan kondisi cuaca, ketersediaan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. Kerawanan bencana di daerah tersebut, seperti banjir, kemarau, ataupun gempa bumi, maupun perubahan ekologis yang berkelanjutan, seperti penggurunan atau erosi tanah, juga menjadi pemicu orang untuk bermigrasi.
Kedua, kemiskinan petani. Jumlah petani kita banyak, tetapi hasil produknya tidak signifikan, sehingga akhirnya petani tidak bisa sejahtera, dan tetap dipeluk kemiskinan. Permasalahannya, petani-petani di Indonesia ternyata sebagian besar adalah buruh tani yang tidak punya lahan, petani penggarap yang tidak punya sawah, atau petani gurem yang lahannya di bawah 0,5 hektar.
Selain tanah miliknya tergolong kecil, para petani seringkali terpaksa berhutang atau menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melunasi hutang. Akibatnya, penghasilan di desa cenderung kecil dan petani tetap miskin. Sedangkan untuk meningkatkan produksi, mereka harus membayar teknologi yang dibutuhkan, bibit tanaman unggul, ataupun obat anti hama yang relatif mahal.
Kemiskinan petani memang menjadi awal permasalahan yang membuat banyak petani beralih profesi serta memilih mencari kerja di perkotaan. Mereka terpaksa keluar dari daerah asalnya akibat rendahnya kualitas hidup atau adanya daerah yang menjanjikan kesempatan untuk hidup lebih layak.
Seringkali seseorang memutuskan bermigrasi karena kombinasi dari kedua faktor di atas. Pilihan yang tersedia adalah menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan yang tidak terkait dengan sektor pertanian, baik pekerjaan di desa maupun di kota untuk sementara, sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan pekerjaan informal lainnya, yang umum ditemukan di perkotaan.
Faktor ketiga, kurangnya angkatan kerja produktif di perdesaan. Banyaknya penduduk desa usia produktif yang bekerja di kota membuat penduduk yang tinggal di desa lebih banyak anak-anak dan orang tua. Para pemuda desa juga makin enggan mengolah sawah dan lebih tertarik pergi ke kota untuk memperbaiki taraf hidupnya. Di sisi lain, okupasi lahan pertanian semakin marak untuk berbagai keperluan non-pertanian.
Dampak Urbanisasi
Laju urbanisasi yang tinggi pada akhirnya memang mengancam keberadaan daya dukung sebuah kota. Potret glamor dan indah perkotaan nyatanya tidak seratus persen benar. Keberadaan permukiman kumuh memang menjadi alternatif bagi para migran yang kurang beruntung mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Selain itu, sebagian besar para migran hanya dapat bekerja di sektor informal, seperti sebagai kuli bangunan, pembantu, pedagang kaki lima, dan lainnya sebagainya. Bahkan, banyak pula dari mereka yang mengambil jalan pintas di kota dengan bekerja sebagai bandar narkoba, pekerja seks, ataupun preman
Dengan demikian, tujuan para migran untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian dengan datang ke kota belum tentu dapat terwujud. Peningkatan urbanisasi justru lebih banyak menimbulkan permasalahan, terutama menjamurnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan. Nyatanya, kota tidak selalu “manis”, tetapi juga memberikan “kepahitan”.
Meskipun bagi sebagian orang meninggalkan kampungnya dan bekerja di perkotaan karena tidak ada pilihan lain, namun kebanyakan dari mereka bermigrasi merupakan suatu pilihan. Peningkatan jaringan transportasi serta ketersediaan telepon selular yang mempermudah komunikasi dan berjejaring dengan kenalan mereka di kota telah membuat penduduk desa paham mengenai keuntungan (ataupun kerugian) untuk pindah ke kota, terutama mengenai informasi kesempatan kerja serta kondisi hunian di perkotaan
Selain luasnya kesempatan kerja, alasan seseorang merasa ditarik ke kota adalah ketersediaan beragam fasilitas, khususnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di perkotaan yang lebih baik. Adapun alasan lainnya ialah struktur sosial dan budaya di kota lebih bebas, sementara di perdesaan dirasa lebih mengekang.
Penyebab dan Dampak Urbanisasi