Perlukah Indonesia Membangun PLTN?

pltn

Tragedi bencana gempa bumi dan tsunami pada hari Jumat siang (11/03 2012) sebesar 9 SR meluluh-lantakkan sebagian wilayah Jepang. Tercatat lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia dan lebih dari 17 ribu orang dinyatakan hilang. Bencana tidak hanya berakhir di situ, mengingat di wilayah itu, tepatnya di Fukushima-Daichi, terdapat pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Guncangan gempa telah secara otomatis mematikan reaktor, meski demikian perlu waktu untuk mendinginkan reaktor. Akan tetapi gempa telah memicu kegagalan sistem pendinginan pada PLTN. Kegagalan tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa ledakan hingga penyebaran material radioaktif ke lingkungan yang secara aktif telah disampaikan oleh berbagai media masa nasional.

Pemberitaan di berbagai media masa yang cenderung kurang berimbang dan akurat, menyebabkan terjadinya krisis ketidakpercayaan masyarakat akan PLTN tumbuh lagi pasca ledakan reaktor PLTN Chernobyl, Rusia tahun 1986. Dalam peristiwa itu tercatat 28 orang meninggal dunia dalam waktu 4 bulan setelah peristiwa ledakan terjadi. Material radioaktif juga terbawa angin hingga ke daratan Eropa.

Ketakutan akan kejadian krisis nuklir di Jepang turut mendorong penguatan gelombang penolakan pembangunan PLTN di Indonesia. Berbagai organisasi penentang pembangunan PLTN memanfaatkan momentum ini dengan menjadi semakin aktif mengkampanyekan gerakan tolak PLTN, sementara pihak yang pro dengan pembangunan PLTN juga menjadi semakin kewalahan menjawab semua pertanyaan tentang jaminan keamanan jika PLTN dibangun di Indonesia, mengingat karakter wilayah Indonesia serupa dengan Jepang, yakni mempunyai intensitas gempa bumi yang tinggi.

Perlukah Indonesia Membangun PLTN?

Pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat diantaranya adalah amankah PLTN dibangun di Indonesia? mampukah sumber daya manusia Indonesia mengoperasikan PLTN? Bisakah budaya korup dan tidak disiplin khas orang Indonesia tidak terbawa dalam proses pembangunan dan pengoperasian PLTN?

Memang perdebatan pro dan kontra PLTN di dunia tidak pernah terselesaikan, karena sudut pandang yang digunakan berbeda. Teknologi Nuklir di Indonesia Teknologi nuklir sebenarnya bukanlah barang baru di Indonesia. Sejarah mencatat bangsa kita telah resmi bersentuhan dengan bahan radioaktif ini sejak tahun 1954, dengan dibentuknya Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet. Seiring perkembangan teknologi nuklir, kemudian pemerintah mendirikan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tahun 1964.

Peningkatkan penguasaan teknologi nuklir di tanah air dilanjutkan dengan dibangunnya reaktor atom pertama, Triga Mark II di Bandung yang berdaya 250 kW. Lalu diteruskan dengan pembangunan beberapa reaktor riset lain seperti reaktor Kartini (100 kW) di Jogja dan reaktor sebaguna GA. Siwabessy (30 MW) di Serpong. Kemajuan pertumbuhan ekonomi nasional disadari oleh pemerintah membutuhkan suplai energi yang berlimpah, oleh karenanya pada tahun 1972 dibentuklah Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-PLTN) oleh BATAN dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik.

Komisi ini menyelenggarakan seminar di tahun 1975 di mana salah satu hasilnya adalah bahwa PLTN akan dibangun di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Lokasi pembangunan PLTN yang paling ideal di pulau Jawa diputuskan pada saat itu ada di Semenanjung Muria. Kemudian dilakukan studi kelayakan pembangunan PLTN pertama di Indonesia pada tahun 1978 atas bantuan pemerintah Italia. Meski pembangunan PLTN telah digagas lebih dari 30 tahun, namun hingga saat ini belum ada kejelasanpasti kapan PLTN pertama akan dibangun di Indonesia.

Seiring dengan upaya pembangunan PLTN, Indonesia juga mulai mengembangkan pendidikan dalam teknologi nuklir lebih dari 30 tahun yang lalu. BATAN bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) mendirikan Jurusan Teknik Nuklir pada tahun 1977, sebagai lumbung sumber daya manusia Indonesia di dalam pengembangan teknologi nuklir, terutama menyokong pendirian PLTN pertama di Indonesia.

Selain di UGM, beberapa universitas di Indonesia juga telah mengadakan riset dan pendidikan dalam bidang teknologi nuklir, diantaranya adalah Jurusan Fisika, Institute Teknologi Bandung dan Jurusan Fisika, Universitas Indonesia, bahkan BATAN sendiri telah mendirikan Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN) di Jogjakarta.

Kebutuhan Listrik Nasional

Kebutuhan Listrik Nasional Pertumbuhan energi nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Padahal rasio elektrifikasi masyarakat Indonesia saat ini terbilang masih rendah, yakni hanya sebesar 65%. Dari total konsumsi listrik nasional, sebanyak 60% lebih dinikmati oleh penduduk di pulau Jawa, Madura dan Bali yang terinterkoneksi dalam jaringan listrik JaMaLi. Tidak bisa dipungkiri bahwa dominasi konsumsi listrik di area JaMaLi dikarenakan wilayah itu merupakan pusat perekonomian nasional.

Lonjakan pertumbuhan kebutuhan listrik nasional yang drastis idealnya harus diimbangi dengan pertumbuhan industri listrik. Namun sayangnya, data dari PLN sebagai penyedia listrik tunggal di Indonesia menunjukkan kapasitas pembangkit listrik nasional tidak mengalami peningkatan yang berarti. Di tahun 2007 kapasitas pembangkit listrik tercatat sebesar 30,3 GW, sedangkan di tahun 2009, tercatat ada sebesar 31,5 GW.

Ketidakpastian penyediaan listrik nasional dapat mengancam eksistensi dan daya saing pertumbuhan ekonomi. Padahal, di tahun 2027, untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, kapasitas pembangkit listrik setidaknya telah mencapai 187 GW, atau naik 6 kali dari kapasitas yang terpasang saat ini.

Energi Indonesia Berada di bawah garis khatulistiwa, Indonesia dianugerahi oleh kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, termasuk sumber daya energi. Berbagai sumber energi terkandung di bumi Indonesia, menurut sumber dari Kementrian ESDM; ada sekitar 8 miliar barel minyak bumi, 90 miliar ton cadangan batubara, 165 miliar kubik kaki cadangan gas alam, 28 GW potensi panas bumi dan 42 GW potensi energi air.

Namun dari sekian banyak sumber energi, hanya sebagian kecil yang berada di wilayah JaMaLi, yakni ada sebesar 10 GW panas bumi, 1,6 miliar barel minyak bumi dan sebagian kecil sumber batubara dan gas alam, sedangkan potensi energi air sama sekali tidak dapat lagi dimanfaatkan dalam skala besar.

Energi listrik tidak serupa dengan bentuk energi lainnya, misal briket batubara, LPG, LNG, bensin atau solar yang wujudnya dapat disimpan dalam bentuk cair atau padat dan dapat digunakan kapan saja. Energi listrik begitu diproduksi harus langsung digunakan, atau jika tidak maka akan terbuang sia-sia. Karena hingga saat ini, teknologi penyimpanan energi listrik dalam bentuk baterai belum sampai pada tahap yang memuaskan. Oleh karena itu, produksi listrik (pembangkit listrik-red) selalu berada dekat dengan pusat konsumen listrik.

Dalam kasus di Indonesia, sebagian besar pembangkit listrik berada di pulau Jawa sebagai pusat populasi dan aktivitas perekonomian. Kebutuhan listrik di wilayah JaMaLi sebagian besar dipikul oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara, sebesar 8,6 GW, karena faktor biaya yang rendah dan ketersediaan batubara di dalam negeri cukup berlimpah.

Sementara itu penggunaan gas dalam pembangkitan listrik di JaMaLi terbilang cukup besar, hampir mencapai 7,6 GW. Meski proyeksi penggunaan bahan bakar gas untuk pembangkit listrik akan terus naik, namun tidak akan sebesar penggunaan bahan bakar batubara. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan gas sebagai bahan bakar konsumsi di sektor rumah tangga. Sumber bahan bakar terbarukan yang sedang intens dilirik oleh pemerintah untuk memproduksi listrik adalah panas bumi.

Meski potensi yang ada cukup besar, namun penggunaannya di Indonesia terbilang masih sangat kecil, baru sebesar 1,1 GW atau sekitar 3,8% dari total potensi yang ada, dan sebagian besar yang beroperasi berada pada sistem JaMaLi. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina, yang telah memanfaatkan sebesar 1,9 GW, maka Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemanfaatan potensi panas bumi.

Keamanan Suplai Energi dan Lingkungan Jelas bahwa kebutuhan listrik nasional ke depan, khususnya di JaMaLi akan bergantung pada bahan bakar batubara untuk memenuhi target kapasitas terpasang sebesar 150 GW. Salah satu kendala utama dalam pengembangan batubara di Indonesia adalah adanya dampak lingkungan dari PLTU Batubara yang merupakan tantangan dalam pengembangan batubara khususnya di Pulau Jawa di masa yang akan datang dan transportasi pengangkutan batubara ke pusat pembangkit.

Solusi lain untuk memenuhi kebutuhan beban di pulau Jawa adalah dengan pengembangan PLTU Batubara di pulau Sumatera kemudian ditransmisikan ke pulau Jawa, namun hal ini berarti membutuhkan biaya yang tinggi untuk membangun transmisi yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Untuk memenuhi tantangan ketersediaan pasokan listrik di masa mendatang, dan juga untuk mengurangi dampak lingkungan, maka opsi untuk membangun PLTN bukanlah hal yang tabu untuk dipertimbangkan.

Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

Dengan teknologi yang ada saat ini, hanya PLTN yang mampu memproduksi listrik dengan stabil dan menghasilkan energi yang besar. Sedangkan sumber energi terbarukan selain panas bumi memiliki kelemahan seperti menghasilkan listrik yang rendah dan tidak stabil, sehingga tidak bisa dijadikan pemikul beban dasar kebutuhan listrik nasional yang terus tumbuh dan memerlukan kepastian pasokan listrik.

PLTN dapat memproduksi listrik dengan efisiensi yang tinggi, hemat bahan bakar, menghasilkan energi yang besar dan memiliki emisi yang ramah lingkungan. Memang biaya kapital pembangunan PLTN bisa mencapai tiga kali lipat dari pembangunan pembangkit listrikberbahan bakar konvensional, akan tetapi biaya bahan bakar lebih murah 5 kali lipat dari pada bahan bakar batubara.

Berdasarkan data terbaru dari Departemen Energi Amerika Serikat, biaya produksi listrik dari PLTN sebesar 1,87 sen/kW, sedangkan batubara mencapai 3,5 sen/KWh. Biaya produksi yang murah tentu akan menjadikan harga listrik yang dibebankan ke konsumen menjadi lebih terjangkau.

Kaitannya dengan lingkungan, menurut World Nuclear Association, siklus hidup emisi dari PLTN di Jepang sebesar 22 g/KWh CO2, sedangkan PLTU Batubara sebesar 990 g/KWh CO2. Dengan emisi yang rendah, biaya produksi yang terjangkau dan besarnya energi yang dapat dihasilkan, maka PLTN telah menjadi pilihan berbagai negara untuk memberikan kepastian pasokan listrik dan pada akhirnya untuk memacu pertumbuhan perekonomian yang tinggi.

Ditengah kebutuhan listrik yang terus meningkat tajam, pertumbuhan ekonomi dan kepedulian akan lingkungan, pemerintah harus segera memutuskan bentuk bauran energi apa yang akan dipakai di masa mendatang. Dengan perencanaan energi yang baik dan tepat, maka kekhawatiran akan krisis energi di masa mendatang akan terhindari.

Opini : Muhammad Ery Wijaya

 

Perlukah Indonesia Membangun PLTN?

Anda telah membaca artikel berjudul: "Perlukah Indonesia Membangun PLTN?" yang telah dipublikasikan oleh: Kanal PU. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.

Artikel pertama kali dipublikasikan pada: 02 Nov 2023

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *