Kesebelasan Indonesia menang atas Filipina dengan skor 1 – 0. Lega, karena menang. Waktu menonton, adrenalin kita menggeliat, karena berharap gol-gol menghajar gawang Filipina. Kita gemes dengan peluang-peluang yang akhirnya meleset. Kita gregetan, ketika bola nyaris saja masuk tapi tidak jadi. ”Wadaaooh!” begitu teman saya meninju udara seraya berteriak keras dan emosional, tak lagi peduli dengan kanan-kiri.
Apa sebenarnya yang kita harapkan? Apakah kemenangan timnas? Tentu saja. Dan timnas telah menang—setidaknya untuk sementara ini. Tapi boleh jadi kita berharap bukan sekadar kemenangan. Lebih dari itu, mungkin kita berharap sebuah kemenangan yang “spektakuler”. Lalu untuk apa? Untuk timnas-kah? Atau lebih luas lagi, untuk bangsa dan negara? Ah. Nampaknya bangsa dan negara ini butuh benar suatu kemenangan. Indonesia terlalu lama menempuh ribuan gregetan. Indonesia perlu semacam katarsis.
Tapi seorang teman tiba-tiba nyeletuk, ”Bung. Janganlah terlalu dilebih-lebihkan. Sebenarnya kita ini butuh hiburan. Itu yang sebenarnya”.
Seorang teman yang lain menangkis, ”Wah, jangan begitu dong. Ini perkara nasionalisme lho, Bro!”
Saya termangu-mangu saja menyaksikan debat mereka yang sengit. Bola tiba-tiba menjadi hal yang multi perspektif. Di atas segala sikap dewasa dan kritis kita, bagaimanapun, naluri primordialistik dalam diri kita tak bisa mencegah arus kekanak-kanakan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan. Kita semua merasa sebagai Wong Indonesia. Dan Wong Indonesia janganlah kalah. Kudu menang. Lalu kita semua bernyanyi herois: Garuda di dadaku……dst.
Jadi, apakah ini benar sebuah nasionalisme? Dan apakah benar ini hanya sebuah hiburan? O, begitu tipisnya sebenarnya jarak antara keduanya.
Seorang teman saya yang lain menandai nasionalisme tersebut sebagai ‘nasionalisme bola’. Katanya, nasionalisme semacam itu memang ada. Arusnya bisa datang dari arah mana saja, sehingga jika ada kurang dan lebihnya, sekiranya bisa dimaklumi.
Oke. Tapi kembali lagi, apa sebenarnya yang kita inginkan? Sebuah katarsis? Untuk apa? Untuk sejenak melegakan diri dari kepenatan sehari-hari, sekaligus mereguk segarnya segelas nasionalisme bola? Sebuah euforia?
Secanggih apapun pertanyaan dan jawaban menelikung kesadaran kita, euforia tidaklah menolong banyak keadaan. Sebaliknya, ia menjadi celah rawan yang kita musti waspada, karena di dalam euforia, manusia sebenarnya berada di ujung keterlenaannya. Di titik itulah, kita lupa terhadap segala realitas yang mestinya kita hadapi dengan sikap wajar dan biasa, supaya kita tidak alpa terhadap tanggungjawab kita. Toh, dengan sikap yang wajar dan biasa, bola masih bisa dinikmati.
Bukan bermaksud kontra-nasionalisme. Bukan pula anti euforia. Apalagi anti bola. Hiburan perlu. Katarsis tetap ada gunanya. Tentu, asal semua itu dalam proporsinya. Kuatirnya, hiburan dan nasionalisme yang ada adalah sebuah mitos yang dengan sengaja digulirkan demi meredam ribuan ”gregetan” dalam diri kita terhadap semua kebrobrokan yang sudah ditorehkan oleh para pecopet negeri ini. Di tingkat ini, bola bukan hanya tontonan yang sarat seni dan strategi, tapi bisa jadi sebuah sihir yang syah buat kita berwaspada.
Begitu bung, begitu. Mari kita reguk kopi dan melegakan diri. Saya akan tetap menunggu pertandingan yang ke depan. Saya akan berpengharapan besar supaya Indonesia tampil jadi juara. Saya akan melonjak dan berteriak ”goooooool”, ketika laskar merah putih membobol gawang lawan. Saya akan bersiap di depan televisi menikmati hiburan keren ini. Dan semoga, saya tetap berada dalam proporsi yang seperlunya. Supaya saya tak tersihir karenanya.
Begitu Bung, begitu!
Opini : DS Priyadi
Sihir Sepak Bola dan Nasionalisme