Teknologi Ground Penetrating Radar (GPR) atau dikenal dengan istilah Georadar merupakan metode yang memiliki spesialisasi untuk eksplorasi dangkal (nearsurface geophysics) dengan ketelitian (resolusi) yang amat tinggi, sehingga mampu mendeteksi benda sasaran bawah permukaan hingga benda yang berdimensi beberapa sentimeter sekalipun.
Istilah georadar dari kata Geo & Radar itu (Geo berarti bumi atau tanah, sedangkan radar merupakan singkatan dari Radio Detection and Ranging), arti harfiahnya adalah alat pelacak bumi dengan menggunakan gelombang radio.
Berbeda dari metode seismik yang menggunakan sumber gelombang mekanik (getaran medium) seperti pukulan palu, ledakan mercon, dan bom, GPR merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan sumber gelombang elektromagnetik. Karena itu GPR tergolong sebagai metode geofisika tidak merusak (nondestructive).
Kelebihan lain GPR adalah biaya operasionalnya yang rendah, prosedur pengerjaan mudah, dan ketelitian sangat tinggi. Kelemahannya, daya tembus metode ini hanya sampai puluhan meter. Itulah sebabnya, metode ini bisa dikatakan bisa cocok diterapkan untuk pencarian Situs (atau harta karun), namun dengan catatan : Bilamana tempat tersebut sudah diyakini benar.
GPR bekerja dalam daerah radar, yaitu yang berfrekwensi di atas 10 Hz atau yang bersesuaian dengan panjang gelombang lebih kecil dari 30 meter. Karena panjang gelombang itu mencerminkan ukuran minimum benda yang dapat terdeteksi, maka makin tinggi frekwensi makin kecil panjang gelombang, sehingga makin kecil ukuran benda yang dapat terdeteksi (makin tinggi pula ketelitiannya). Hasil pencitraan GPR bisa memunculkan informasi semacam ketebalan permukaan aspal jalan, jalur pipa bawah tanah, dan lainnya.
Di Amerika Serikat, GPR banyak digunakan untuk keperluan deteksi peralatan yang terpendam seperti pemantauan septic tank rumah, deteksi ranjau, deteksi lapisan tanah untuk mencari bedrock yang pas guna pondasi bangunan, hingga mencari mayat hilang dan fosil-fosil arkeologis.
Metode geofisika sendiri sebetulnya cukup banyak dan masing-masing mempunyai kegunaan sesuai dengan karakteristik material yang dicari. Misalnya, perusahaan minyak banyak menggunakan metode seismic (getaran) untuk mencari jebakan minyak, perusahaan tambang emas menggunakan metode kelistrikan (geolistrik) untuk mencari urat-urat emas, metode kemagnetan bumi (geomagnet) untuk mencari logam, hingga metode gaya berat (gravity) untuk keperluan eksplorasi pada daerah luas (regional).
Seperti dijelaskan di awal, radar memancarkan semacam gelombang elektromagnet yang kemudian ditangkap balik oleh sensor alat. Spektrum frekuensi yang digunakan, disesuaikan dengan kebutuhan pengukurannya. Gelombang yang dipancarkan adalah gelombang pendek (mikro) agar bisa terpenetrasi ke bawah permukaan bumi. Respon data yang diterima, diolah berdasarkan hukum pantulan (refleksi) dan pembiasan (gelombang).
Tentu saja banyak hal yang mempengaruhi penjalaran (propagasi) gelombang, seperti Efek Doppler. Penyimpangan-penyimpangan yang terukur inilah yang justru akan menjelaskan susunan lapisan di bawah permukaan yang akan dianalisa nantinya dengan menggunakan komputer.
Secara keseluruhan, alat GPR berbobot tidak lebih dari 5 kg, sehingga sangat leluasa bergerak. Alat ini bekerja dengan dua antena. Yang satu berfungsi sebagai transmitter, yaitu bertugas memancarkan gelombang radar. Sedangkan yang lain sebagai receiver, bertugas menerima gelombang radar yang dipantulkan oleh bahan-bahan di sekelilingnya yang kemudian diolah grafiknya ke dalam sebuah Komputer.
Di sisi teknologi yang lain, kalau situs Majapahit saja bisa kemudian difoto satelit kemudian dipindai dan dicitrakan secara digital untuk ditemukan aliran-aliran sungai atau jalur bawah tanah diantaranya, mengapa hal yang sama tidak dilakukan di situs Batutulis ini?
Kalau kemudian muncul alasan klasik dana yang menjadi kendala eksplorasi GPR, maka sebetulnya ada metode geofisika lain yang sederhana untuk melacak struktur bawah permukaan semacam ini, sehingga (bila memang benar ada) keberadaan situs atau benda-benda bersejarah tidak hilang begitu saja.
Metode sederhana ini cukup dengan menggunakan metode seismik bias (refraksi). Alatnya pun tidak terlalu rumit, yaitu hanya seperangkat prosessor seismic, sensor penerima (geophone) dan sumber getaran yang biasanya berupa palu. Jelas peralatan-peralatan semacam ini mudah diperoleh. Metode sederhana ini pernah digunakan tim geofisika dari F-MIPA UGM untuk mencari candi-candi yang diduga terpendam di seputaran Candi Prambanan dan terbukti cukup efektif.
Oleh karena itu sebenarnya akan sangat sayang sekali bila di jaman modern seperti sekarang ini kegiatan pencarian artefak atau situs-situs semacam tidak dilakukan eksplorasi lebih mendalam yang melibatkan pihak-pihak kompeten dan teknologi terkait yang dimungkinkan kontribusinya.
Pihak-pihak yang berkompetenpun seharusnya juga sudah langsung memberikan wacana yang ilmiah sebelum telanjur ada yang terjun menuju lokasi atau malah berkonsultasi dengan pihak-pihak yang kurang kredibel dan bisa menyesatkan.
Bagaimanapun juga kini sudah telanjur ada upaya pembongkaran situs Batutulis untuk mencari Harta Karun Padjajaran tersebut, dimana sebenarnya teknologi yang memungkinkan eksplorasi hal tersebut secara ilmiah sudah bisa tersedia (GPR, komputer, radio komunikasi, dan lain sebagainya).
Nah, sekarang tinggal kita bisa memanfaatkan potensi yang sangat baik sekali ini atau tidak. Sekali lagi sayang seribu sayang, bila upaya pencarian artefak, situs (atau harta karun) semacam ini justru dibuat menjadi perdebatan yang tidak ilmiah atau bahkan dikembangkan untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu.
Teknologi Georadar atau Ground Penetrating Radar